Assalamu'alaikum,
Haaaiii... Sebagai anak dari kampung dan "tiba-tiba"
"harus" jadi warga Jakarta, saya punya misi untuk mendatangi setiap
pulau di Kepulauan Seribu di Utara Jakarta. Misi pertama adalah ke Pulau Tidung
salah satu member Kepulauan Seribu. Saya juga kurang tau ada apa dan mau
ngapain kesana.
Datang dari seorang teman yang bercerita di depan kelas, Tidung dikatakan
sebagai Phuketnya Indonesia. Jadi penasaran kan,
browsinglah saya. Kata
Mr.Google, disana ada pantai pasir putihnya, ada jembatan cintanya, ada
snorklingnya,
ada
watersportnya, ada
saeafoodnya, dan ada penduduknya (ya
iyalaaahh). Yup sekarang saya tau ada apa di Tidung tapi masih belum memutuskan
mau ngapain disana.
OK, pulau tujuan dikunci. Bermodal nekat, hari Jumat malam, saya nanya sama
teman sekosan transportasi ke Tidung. Tidak begitu peduli nanti bagaimana tidur
dan makan di Tidung, yang penting saya berangkat dan sampe dulu di sana. Sabtu
pagi bulan Ramadhan tahun 2013 pukul 04.30 saya berangkat
naik bajay ke
Stasiun Manggarai, naik KRL tujuan Jakarta Kota, dari situ bisa naik angkutan
umum dengan urutan bis-angkot-odong2. Tapi karena sedang diburu waktu
keberangkatan kapal, saya naik taksi ke Pelabuhan Muara Karang, sekitar pukul
07.30, agak terburu-buru karena kapal hampir berangkat, saya beli tiket
(Rp45.000). Yup itu kapal kayu semacam kapal nelayan "2 lantai"
dengan lantai atas yang sangat rendah sampai jalanpun harus jongkok.
Entah berapa orang penumpangnya, dari berbagai usia, profesi, suku, dan ras
(hehehe), yang jelas penumpangnya banyak. Sampai saya juga harus duduk diluar,
di ekor kapal, beralaskan pelampung...Empuuukk (penggunaan pelampung seperti
itu adalah tidak benar).
Keluar dari pelabuhan, membelah Teluk Jakarta. Khasnya Kota Jakarta pun
sampai terbawa sampai ke Teluknya. Sampah plastik mengapung dimana-mana.
Jakarta banget deh. Sempat kurang yakin, "jangan-jangan, repot-repot
jalan-jalan ke Tidung, dapet-dapetnya pemandangan-pemandangan sampah
bertebar-tebaran (hehehehe...)". Tapi setelah 3 jam perjalanan, jawaban
dari rasa penasaran saya adalah Tidak. Tidak perlu khawatir, Tidung tidak
seperti Jakarta. Tidak ada gedung tinggi, tidak ada jalan beraspal, tidak
ada mobil, tidak ada macet, tidak berisik, tidak berpolusi, tidak banyak sampah
(tapi masih ada), dan tidak ada monas (ya iyalaaah..^^). Berasa "terbang"
3 jam dari Jakarta (bukan berlayar). Berasa bukan di Jakarta.
Mendarat dengan cantik (cieee...) di Pelabuhan Tidung, banyak bentor, hemm
atau betor atau bector, intinya, becak yang didorong dengan motor. Jauh dekat
(tapi sebenernya dekat semua) Rp 15.000. Saya diantar Pak Bentor-Bernama-Nur,
diantar cari penginapan. Banyak losmen dan tak ada hotel berbintang, tapi saya
lebih memilih rumah warga biar bisa berbaur jadi warga Tidung sehari.
"Jalan utama" di Tidung hanya ada 1, dengan material paving blok, lebar
sekitar 2-3 meter. Selebihnya gang-gang kecil saja. Dengan mudah kita bisa
bedakan warga asli atau wisatawan. Pada umunya, warga sekitar menggunakan alat
transportasi berupa sepeda motor, sementara wisatawan jalan kaki atau bersepeda
(tarif sewa sekitar Rp 15.000 entah per apa, yang jelas bukan perjam, karena
saya disana 2 hari 1 malam bayarnya tetep segitu).
Penginapan-Rumah-Warga yang direkomendasikan Mas Nur, bertarif Rp250.000,
berada di jalan utama, ada 2 kamar, ruang tamu, ruang tengah, dapur, 1 kamar
mandi, dan memiliki 1 AC untuk 1 rumah (bukan 1 ruangan). Termasuk murah dan
pas untuk menginap semalam saja. Didukung dengan Kedai Seafood-Pinggir-Pantai,
sempurnalah untuk saya yang berkantong pas-pasan, tidak suka ribet dan hobi
makan. Makasih Mas Nuuur... dari penginapan, naroh tas dan perbekalan, saya
diantar ke tempat penyewaan sepeda (biaya antar
include di biaya bentor
Rp 15.000 tadi). Bertemulah saya dengan si sepeda pinky berkeranjang, berkarat
dan bertuliskan nama
ownernya dengan pilok. YONO.
to continued.... PETUALANGAN DI KEPULAUAN SERIBU :1st Destination : Pulau Tidung, Part 2: Laut vs Ramadhan.... untung ada Jembatan Cinta!!